Negativity


Sore ini, seperti biasa aku di balai desa dekat rumah, membawa ransel berisi laptop dan berkas-berkas entah apa saja. Di balai desaku sudah lama disediakan Wi-Fi gratis, memberi kemudahan bagi mahasiswa semester akhir yang qismin sepertiku. Maka sejak itu, kalau ada waktu luang dan sedang tidak di kosku di kota, disinilah tempatku nongkrong. Browsing jurnal, nonton video terbaru Gitasav sampai nulis di blog ini pun aku lakukan disini.

Kebiasaan ini termasuk baru, menjadi rutinitasku sejak sebulan terakhir.

Kalau boleh jujur, rasanya baik memiliki hal baru untuk dilakukan. Yang sama sekali tidak berkaitan dengan ‘dia’, seseorang yang jauh disana. Yang tidak lagi menjadi bagian hidupku setelah 5 tahun bersama.

Ah sudahlah, lagi-lagi aku mulai mengingat masa lalu.
Sebenarnya bukan itu yang mau kubahas..


Kali ini balai desa lengang seperti biasa, hanya tersisa beberapa pegawai dan Pak Kades yang belum pulang karena jam kerja juga belum habis. Ditengah-tengah keseruanku nonton video Gitasav tentang marriage, datang dua mahasiswa UNEJ. Salah satunya adalah teman SMP-ku. Kita bertukar sapa seperti yang biasa dilakukan teman yang sudah lama tidak bertemu.

Sepulang mereka, aku mulai bernostalgia. Tentang bagaimana hidupku semasa SMP dulu masih terasa sangat normal. Masalah terbesarku dulu hanya hal-hal simple, seperti uang saku habis sebelum waktunya karena aku beli bakso sehari 2 kali misalnya. Hari-hariku sepertinya seru sekali dulu; sekolah, latihan karate, les di bimbel, main ke tetangga. Sederhana dan tanpa beban yang berarti.
Bukan tidak bersyukur, tetapi melihat keadaanku sekarang, aku jadi rindu masa remajaku.

Usia 20-an tidak selalu semenakutkan ini. Aku juga punya masa-masa dimana kedewasaan ingin sekali cepat-cepat kuraih. Lulus kuliah, bekerja dan bahkan menikah dan berkeluarga. Itu disaat semua masih terasa lengkap dan pasti. Aku pernah merasa begitu selama 5 tahun.


But right now, here I am, sitting in front of my laptop with so much negativity in my head. Aku tidak tahu kenapa, dan sejak kapan aku mulai merasa begini. Tetapi yang kutahu, aku harus mencari cara untuk menghilangkan negativitas yang bercokol di kepalaku.

Aku mulai melakukan hal-hal kecil yang positif seperti mengikuti akun Gitasav (positif gak?), impactnya tidak seberapa, tetapi cukup untuk memberiku pandangan hidup yang lebih baik.

Aku tidak menulis blog-ku untuk menebar positivity seperti blogger lainnya. Hell no. How could I, ketika aku sendiri struggling dengan negativity-ku. Jadi maaf, kalau isi blog-ku cukup sampah, hanya berisi keluh kesah dan pertanyaanku akan hidup.

Aku memberi alasan pada diriku sendiri bahwa masa ini, masa yang penuh negativitas ini, adalah bagianku berproses menjadi lebih baik. Semoga dengan ini, aku memiliki motivasi lebih untuk memperbaiki diri, hingga suatu saat kudapati aku hidup baik dengan usaha sendiri. Wow, rumit sekali. Intinya begitu.

Aku ingin, suatu saat semangatku meraih masa depan kembali. Aku ingin, setiap kali aku menoleh ke masa lalu, aku merasa baik-baik saja, hanya sekedar nostalgia. Bukan longing karena masa lalu terasa lebih baik. Aku ingin, aku merasa bahagia karena diriku sendiri, bukan karena orang lain. Aku ingin, aku merasa ringan, siap menjalani hari-hariku, seberat apapun.

Semoga blog yang aku setting public ini tidak ada yang membaca. Karena kasihan sekali, posting yang di dapat hanya berisi curahan hati galau seperti ini. Tapi kalaupun ada, semoga kamu bisa mengambil manfaat, apapun itu.

Comments

Popular posts from this blog

jealous?

Insecurity

i love you